HAPPY STUDY

Sabtu, 09 Februari 2013

puisi

Ketika Tirai Tertutup
 
Ketika mendengar sebuah berita "miring" tentang
saudara kita, apa reaksi kita pertama kali?
Kebanyakan dari kita dengan sadarnya akan menelan
berita itu, bahkan ada juga yang dengan semangat
meneruskannya kemana-mana.
 
Kita ceritakan aib saudara kita, sambil berbisik,
"sst! ini rahasia lho!". Yang dibisiki akan meneruskan
berita tersebut ke yg lainnya, juga sambil
berpesan, "ini rahasia lho!"
 
Kahlil Gibran dengan baik melukiskan hal ini dalam
kalimatnya, "jika kau sampaikan rahasiamu pada angin,
jangan salahkan angin bila ia kabarkan pada pepohonan."
 
Inilah yang sering terjadi. Saya memiliki seorang rekan 
muslimah yang terpuji akhlaknya. Ketika dia menikah saya
menghadiri acaranya. Beberapa minggu kemudian, seorang
sahabat mengatakan, "saya dengar dari si A tentang "malam
pertamanya" si B." Saya kaget dan saya tanya, "darimana si A
tahu?" Dengan enteng rekan saya menjawab, "ya dari si B sendiri!
Bukankah mereka kawan akrab..."
 
Masya Allah! rupanya bukan saja "rahasia" orang lain
yang kita umbar kemana-mana, bahkan "rahasia kamar" pun
kita ceritakan pada sahabat kita, yang sayangnya juga
punya sahabat, dan sahabat itu juga punya sahabat.
 
Saya ngeri mendengar hadis Nabi: "Barang siapa yang
membongkar-bongkar aib saudaranya, Allah akan membongkar 
aibnya. Barangsiapa  yang dibongkar aibnya oleh Allah,
Allah akan mempermalukannya, bahkan di tengah keluarganya."
 
Fakhr al-Razi dalam tafsirnya menceritakan sebuah riwayat
bahwa para malaikat melihat di lauh al-mahfudz akan kitab
catatan manusia. Mereka membaca amal saleh manusia. 
Ketika sampai pada bagian yang berkenaan dengan kejelekan 
manusia, tiba-tiba sebuah tirai jatuh menutupnya.
Malaikat berkata, "Maha Suci Dia yang menampakkan yang indah 
dan menyembunyikan yang buruk."
 
Jangan bongkar aib saudara kita, supaya Allah tidak membongkar 
aib kita.
 
"Ya Allah tutupilah aib dan segala kekurangan kami di mata  
penduduk bumi dan langit dengan rahmat dan kasih sayang-Mu, 
Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah"

..........................................................................................................
Ketika Bumi Menjadi Sempit
 
 
Pernahkah anda merasakan bumi yang kita diami ini
menjadi sempit sehingga napas kita menjadi sesak? Jika
belum, dengarlah kisah Ka'ab bin Malik lima belas abad
yang lampau. 
 
Ketika Nabi yang mulia berangkat perang bersama para
sahabat beliau dalam perang Tabuk, ada tiga orang
sahabat yang enggan ikut dalam barisan pasukan Nabi,
yaitu Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah
bin Rabi'ah. Ka'ab bercerita, "Ketika kudengar berita
bahwa Nabi telah kembali dari Tabuk, terpikir dalam
hatiku untuk berdusta. Aku berpikir bagaimana supaya
selamat dari kemurkaan Nabi. Namun ketika Nabi sudah
sampai di Madinah, aku berpikir bahwa aku tidak akan
selamat sedikit pun. 
 
Aku kemudian memutuskan untuk mengatakan yang
sebenarnya mengapa aku tidak ikut berperang bersama
beliau." Nabi datang di Madinah. Aku temui dia. Beliau
tersenyum, senyum marah.
 
"Kemarilah," ujar Nabi. Aku duduk di dekat beliau. Nabi
yang mulia bertanya, "Apa yang menyebabkanmu tidak
ikut berperang?" Aku berkata, Ya Rasul Allah, jikalau
aku menghadap penduduk dunia selain engkau, tentu aku
sanggup menyelamatkan diri dari dari kemurkaan dengan
mengajukan alasan. Tetapi, demi Allah, sekiranya aku
berdusta kepada engkau agar engkau ridha, mungkin
Allah segera membuatmu marah kepadaku. Demi Allah,
aku tidak mempunyai alasan apapun. Demi Allah, waktu
aku meninggalkan diri, aku berada dalam keadaan yang
baik (dan mampu untuk berperang). 
 
Rasul bersabda, "Orang ini berbicara benar. Pergilah,
sampai Allah memberikan keputusan tentang kamu."
Nabi kemudian mengisolir Ka'ab dan kedua temannya
sampai datang putusan dari Allah. Nabi melarang kaum
Muslim berbicara kepada mereka. Bahkan, isteri mereka
pun kemudian dilarang mendekati mereka. Wajah umat
Islam berubah kalau melihat Ka'ab. Mereka segera
memalingkan wajahnya. 
 
Ka'ab bercerita, "Aku shalat berjam'ah bersama kaum
Muslimin. Aku berkeliling kota dan pasar. Tidak
seorangpun menegurku. Aku datangi Rasul sesudah
shalat. Aku ucapkan salam kepadanya. Aku ingin tahu
apakah beliau menggerakkan bibirnya membalas
salamku.Aku shalat didekatnya dan mencoba melirik
kepadanya. Usai shalat beliau melihatku, tetapi segera
memalingkan wajahnya ke arah lain. 
 
Aku tinggalkan Nabi. Aku berjalan dan berjalan, sampai
ke rumah saudara sepupuku, Abu Qatadah. Kuucapkan
salam, tetapi demi Allah ia tidak menjawab salamku. Aku
berkata, "Hai Abu Qatadah, tahukah engkau bahwa aku
mencintai Allah dan Rasul-Nya? Aku ulangi beberapa
kali. Abu Qatadah hanya diam. Aku ulangi lagi. Ia
menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Air mata
menggelegak di pelupuk mataku. Aku beranjak dari
rumahnya." 
 
Kejadian ini berlangsung lima puluh hari. Ka'ab dan
kedua kawannya mengasingkan diri di sebuah bukit.
Keluarganya mengantarkan makanan kepada mereka.
Suatu hari Ka'ab berkata, "Orang-orang dilarang
berbicara kepada kita. Kita pun sepatutnya tidak saling
berbicara. Setelah itu mereka tinggal berjauhan. 
 
Datang pula utusan dari Syam yang bermaksud
merangkul Ka'ab dan kedua temannya agar membelot
dari Islam dan bergabung dengan non-Muslim. Ka'ab
berkata, "Tawaran ini juga bagian dari cobaan." Ka'ab
menampiknya dan tetap setia dalam Islam meski telah
diisolir oleh umat Islam. 
 
Setiap hari Ka'ab dan kedua rekannya berdo'a,
beristighfar dan menangis. Setelah lima puluh hari, Allah
menurunkan ayat: "
 
(Dan Allah juga mengampuni) tiga orang yang meninggalkan diri di
belakang. Ketika bumi yang luas terbentang terasa sempit bagi mereka dan
mereka rasakan napas mereka sesak. Mereka tahu bahwa tidak ada tempat
berlindung kecuali Allah. Kemudian Allah mengasihi mereka agar mereka
kembali kepada Tuhan. Sesungguhnya Allah Penerima Taubat dan Maha
Penyayang (QS 9: 118) 
 
Ka'ab mendengar berita pengampunan ini setelah subuh.
Ia memeluk pembawa berita. Ia rebahkan dirinya
bersujud syukur. Segera ia temui Rasul. Rasul
menyambutnya dengan senyum yang bersinar. Ketika
melihat sambutan Nabi seperti itu (yang berbeda dengan
sebelumnya). Ka'ab tidak dapat menahan air matanya. Ia
menciumi tangan dan kaki Rasul yang mulia. Karena ia
mendapat ampunan itu berkat kejujurannya, ia berjanji
bahwa sejak itu lidahnya tidak akan pernah mengucapkan
kebohongan. (Tafsir al-Durr al-Mantsur 4:309-315;
Jalaluddin Rakhmat, 1993: 77-80) 
 
Bertaubatlah meskipun kita harus menguraikan air mata;
Gapailah ampunan ilahi meskipun kita harus "terasing"
di antara umat manusia. 
 
Armidale, 4 Juni 1998
 
Nadirsyah Hosen


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kursor